Sahabatku,
Kehidupan manusia di dunia, tak ubahnya
sebuah perjalanan yang pasti ada akhirnya. Dan tahukah sahabat apa yang akan
menjadi akhir dari perjalanan kita di dunia ini – untuk selanjutnya memulai
sebuah perjalanan baru ke negeri yang
masih asing? Itulah kematian. Kematianlah, akhir kisah hidup kita di dunia.
Lalu, adakah kita siap menjumpainya ketika
malaikat pencabut nyawa sudah datang menjemput? Adakah kita siap ketika kain
kafan akan membungkus tubuh kita? Adakah kita siap ketika tubuh kita akan
diturunkan ke liang lahat? Ketika papan-papan menutup jasad, ketika gumpalan
tanah menimbun, apakah kita siap? Ingatlah kita pasti mati. Kita pasti berpisah
dengan ibu bapak kita. Merekakah yang akan berpulang lebih dulu? Ataukah malah
kita yang mendahului mereka? Kita pasti berpisah dengan istri dan anak-anak.
Betapapun kita teramat sayang kepada mereka, Allah pasti membuat kematian yang
akan mengakhiri segalanya.
Allah SWT menegaskan tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati. Dan sakaratul maut itu sakit sekali, sebagai contoh seekor
kambing yang tidak mempunyai dosa apapun, ketika disembelih, Allah
memperlihatkan kepada kita, betapa sulitnya ia meregang nyawa. Ayam adalah
mahluk Allah yang selalu bertasbih, dan karena itu ia bersih dari dosa. Tetapi,
ketika disembelih betapa ia menggelepar-gelepar tanda teramat sakitnya melepas
nyawa.
Sahabat,
Kita pun demikian halnya. Semakin busuk
diri kita ketika hidup, mungkin saat-saat tercerabutnya nyawa dari badan akan
merupakan saat-saat yang teramat pahit dan menderita. Tubuh ini laksana dibelit
kawat berduri yang menghunjam ke setiap bagian otot, kemudian ditarik, sehingga
tercabik-cabik dan tercerabut dari tulang.
Kita pasti akan meninggalkan segala yang
apa kita cintai. Hanya kain kafan yang menemani. Mungkin saat-saat kita
meninggal, orang-orang menangis, tapi mungkin juga sebaliknya, menertawakan.
Jasad yang terbujur kaku pun dengan tanpa daya diusung orang menuju liang
kubur. Ya, disanalah rumah terakhir kita. Tidak ada yang kita bawa. Kita akan
dibaringkan menghadap kiblat. Kain kafan dibuka sedikit pada wajah kita agar
menyentuh tanah. Papan-papan pun akan mempersempit ruang lahat. Kemudian,
pelan-pelan tanah akan menutup dan menghimpit, hingga tak ada sedikit pun ruang
yang tersisa. Mungkin yang akan menimbunkan tanah itu justru orang-orang yang
paling kita cintai.
Semakin lama semakin gelap dan pekat. Kita
tak lagi mempunyai teman, selain amal baik. Harta, pangkat, jabatan, yang
mati-matian kita cari sampai tidak ingat shalat, tidak ingat shaum, tidak ingat
zakat. Semuanya tidak ada yang mampu menolong kita. Bahkan mungkin tumpukan
harta yang kita tinggalkan malah memperberat kita karena dipakai maksiat oleh
anak dan keturunan kita.
Sahabat,
Saat itulah kita akan
mempertanggungjawabkan segala apa yang pernah diperbuat di dunia. “Hai dungu,”
demikian mungkin kita disergah. “Mengapa engkau begitu zhalim kepada dirimu
sendiri? Kepalamu tidak pernah kau gunakan untuk bersujud. Yang
melingkar-lingkar dalam otakmu hanya urusan dunia belaka. Padahal ternyata
semua itu tidak bisa kau bawa. Tanganmu berlumur aniaya, sedang berderma
menolong sesama tidak pernah ada. Matamu bergelimang maksiat, sedang Al-Qur’an
tidak pernah kau singkap dan kau lihat. Di telingamu hanya berdenging musik
sia-sia dan kata-kata penuh maksiat, sedang kebenaran tak sedikit pun kau simak
meski sesaat. Kenapa keningmu hanya kau dongakkan penuh keangkuhan, tetapi
tidak sekalipun kau letakkan di atas sajadah kepasrahan?”
Mungkin saat itulah kita melolong-lolong
menjerit penuh penyesalan. Ketika itulah akan kita rasakan gemeretaknya
tulang-belulang di sekujur tubuh hancur luluh dihimpit oleh kubur yang teramat
benci kepada jasad yang sarat bergelimang dosa.
Sahabat,
Ketahuilah bahwa kematian itu pasti, dan
siksa kubur pun pasti bagi orang yang tidak mempersiapkan diri.
0 komentar:
Posting Komentar
Kritik Yang Membangun