GAZA - Hamas dan Israel sulit meletakkan senjata. Bahkan untuk tiga jam saja, tepat pada saat Perdana Menteri Mesir Hisham Qandil berkunjung ke Jalur Gaza untuk bertemu para pemimpin Hamas dalam rangka merumuskan gencatan senjata, pesawat-pesawat perang Israel membombardir kawasan Nazila dan menewaskan dua warga sipil. Seorang di antaranya masih anak-anak.
Buntutnya, jumlah korban tewas di kubu Palestina sejak Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mulai melancarkan Operasi Pilar Pertahanan ke Gaza Rabu sore lalu (14/11) hingga kemarin (16/11) mencapai 21 orang, termasuk tujuh anak dan seorang perempuan hamil. Di pihak Israel, korban meninggal karena roket Hamas mencapai tiga warga sipil.
Israel beralasan, serangan di tengah kunjungan singkat Qandil tersebut hanya merespons serbuan roket Hamas yang jatuh di wilayah selatan Negeri Yahudi itu. Sebelumnya, atas permintaan Kairo, Tel Aviv memang berjanji menghentikan serangan selagi Qandil berada di Gaza selama Hamas juga berjanji tak menyerang.
Tak cuma menyerang dari udara, sebagaimana dilaporkan koran Inggris The Independent, Israel juga menyiapkan serbuan darat ke Gaza seperti yang mereka lakukan empat tahun silam. Sebanyak 16 ribu di antara total 30 ribu tentara cadangan IDF sudah disiagakan.
Kemarin berbarengan dengan bombardir ke Gaza, pesawat-pesawat Israel juga mengebom area terbuka di sepanjang perbatasan mereka dengan kawasan yang dikuasai Hamas sejak 2007 tersebut. Ditengarai, itu dilakukan untuk mengamankan jalur bagi tank-tank IDF menuju wilayah berpenduduk 1,7 juta jiwa tersebut.
Eskalasi itu praktis membuat upaya gencatan senjata yang dirancang Mesir sulit terwujud. Namun, moral Hamas yang lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin yang sekarang berkuasa di Mesir jelas sangat terangkat menyusul kunjungan tiga jam Qandil.
Maklum, pada masa Husni Mubarak yang terjungkal dari kekuasaan pada awal tahun lalu sebagai buntut revolusi "Musim Semi Arab", Mesir dikenal sangat anti-Hamas.
Bahkan, kala Gaza diserbu Israel dari udara dan darat selama 17 hari pada akhir 2008 sampai awal 2009 yang menewaskan 1.500 orang, Kairo, atas permintaan Tel Aviv, memilih menutup perbatasan mereka dengan Gaza di Rafah. Akibatnya, lalu lintas bantuan terhambat. Satu-satunya cara bagi warga Gaza memperoleh bahan makanan hanyalah melalui penyelundupan lewat terowongan bawah tanah.
"Kunjungan bersejarah ini merefleksikan solidaritas Mesir pascarevolusi terhadap Gaza," ujar Perdana Menteri Hamas Ismail Haniya yang mendampingi Qandil dalam jumpa pers seusai mengunjungi Rumah Sakit Al-Shiifa seperti dikutip situs berita Al Ahram.
Qandil memang membawa pesan dari Presiden Mesir Mohamed Morsi yang berisi dukungan penuh kepada Hamas dan warga Gaza. "Mesir tak akan ragu untuk mengintensifkan upaya dan berkorban demi menghentikan agresi (Israel) ini," tegas Qandil dalam jumpa pers yang sama.
Keberpihakan Mesir juga diwujudkan dengan tetap membuka perbatasan mereka di Rafah. Hari ini Kairo juga akan menjadi tuan rumah pertemuan Liga Arab yang bakal menyuarakan dukungan pula kepada Gaza. Tapi, persoalannya, semua dukungan itu diyakini tak akan menghentikan agresi Israel. Meski mungkin tak akan selama
"Perang 17 Hari" empat tahun silam, militer Israel diperkirakan tetap mampu bertahan selama sekitar sepekan. Dan, itu jelas bakal kian memperparah kondisi di Gaza yang belum sepenuhnya pulih lantaran operasi "Cast Lead" empat tahun silam.
Apalagi, Dewan Keamanan PBB, seperti biasa, terlihat enggan bersikap keras terhadap Israel. "Selama Netanyahu (Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Red) masih menginginkan perang, serbuan ke Gaza akan terus berlanjut," ujar seorang diplomat Barat kepada Al Ahram.
Sejatinya, sebagaimana ditulis The Guardian, serbuan ke Gaza tersebut bermotif politik semata, tak ada kaitan dengan upaya melemahkan Hamas. Seperti juga empat tahun silam, kalangan berkuasa di Israel, baik Netanyahu dari Partai Likud maupun Menteri Pertahanan Ehud Barak dari Partai Buruh, membutuhkan perang itu untuk mengangkat citra mereka menjelang pemilu nasional yang akan dihelat pada Januari 2014.
Menekan Hamas yang konsisten mengganggu Israel dengan tembakan roket sejak berkuasa di Gaza lima tahun silam merupakan cara paling ampuh untuk menggaet suara di Negeri Zionis tersebut. Walaupun, terbukti opsi militer selama ini tak pernah mampu menumpas kelompok yang didirikan pada 1988 tersebut.
Perlu digarisbawahi pula, IDF tak bisa serampangan menyerbu Gaza karena kian meningkatnya kekuatan militer Hamas. Keberhasilan Hamas untuk kali pertama sejak 1991 menembakkan dua roket Fajr 5 "satu jatuh ke laut, satunya lagi ke lahan kosong dan tak menimbulkan korban" Kamis (15/11) ke Tel Aviv benar-benar mengagetkan penguasa serta rakyat Israel.
Sebab, Tel Aviv yang berada di ujung utara Israel termasuk kota yang selama ini dikategorikan aman dari jangkauan roket Hamas. Tak heran kalau pemerintah kota Tel Aviv kemarin langsung membuka selter antibom yang selama ini tertutup buat publik.
"Bahkan, Perdana Menteri Netanyahu sampai harus segera dilarikan ke ruang perlindungan (begitu roket Hamas menjangkau Tel Aviv)," ungkap Gilad Eldan, salah seorang menteri Israel, seperti dikutip The Guardian.
Suplai dari Libya dan Iran membuat Hamas kini diperkirakan memiliki 11 ribu roket. Jumlah tersebut hampir menyamai kekuatan musuh lama Israel, Hizbullah, yang menyimpan 15 ribu roket. (c5/ttg)
Sumber : http://www.jpnn.com/read/2012/11/17/147169/Siapkan-16-Ribu-Tentara-untuk-Serbu-Gaza-
0 komentar:
Posting Komentar
Kritik Yang Membangun